Skill atau attitude dulu?
Pertanyaan ini menjadi topik menarik bagi dua kalangan sekaligus. Yakni HR (Human Resources) sebagai bagian dari perusahaan serta para pelamar kerja.
Keduanya memang penting dalam dunia kerja. Namun memposisikan mana yang lebih penting seringkali jadi hal membingungkan.
Nah, dalam kesempatan kali ini, Tugas Karyawan akan berbagi pandangan mengenai jawaban dari pertanyaan ini.
Baca sampai habis untuk mendapatkan poinnya ya!
Membedah makna skill dan attitude
Sebelum mendapatkan jawabannya, ada baiknya kita pahami dulu bersama sama mengenai pengertian dari topik bahasan ini.
Skill itu apa? Attitude itu apa?
Pengertian skill
Secara bahasa, Collins Dictionary memberikan pengertian bahwa skill atau keterampilan adalah pengetahuan dan kemampuan yang memungkinkan kamu melakukan sesuatu dengan baik.
Untuk melakukan suatu pekerjaan, skill pastinya dibutuhkan. Setiap pekerjaan punya syarat skill berbeda beda.
Misalnya, untuk sukses jadi pedagang, butuh skill seperti:
- Negosiasi
- Persuasi
- Berhitung
Untuk jadi programmer, seseorang butuh skill semisal:
- Logika
- Bahasa pemrograman
- Pengoperasian tools pemrograman
Begitu juga dengan pekerjaan pekerjaan lain. Hampir tak ada pekerjaan yang tak membutuhkan skill.
Sekalipun tukang sapu, penjaga toko, semua juga membutuhkan skill.
Hanya mungkin yang membedakannya adalah level skill dari sisi waktu untuk mempelajari dan melatihnya, tingkat kerumitan belajarnya, hingga penghargaan terhadap skill tersebut.
Maka tak heran ada skill yang bisa dihargai dengan mahal dan ada yang murah.
Pengertian Attitude
Berbeda dengan skill atau keterampilan, attitude atau sikap merupakan cara berperilaku yang menjadi hasil akumulasi motivasi batin, nilai, sekaligus tujuan pribadi manusia.
Attitude berbicara tentang kecenderungan manusia dalam menilai sesuatu atau keadaan. Entah itu secara positif maupun negatif.
Jika setiap pekerjaan bisa jadi membutuhkan skill berbeda beda, maka tak demikian dengan attitude.
Attitude ini kebutuhannya bersifat lebih umum.
Apapun pekerjaannya, attitude baik tetap harus terwujud.
Contoh attitude baik antara lain:
- Motivasi tinggi
- Menghargai waktu
- Komitmen
- Mudah beradaptasi
- Loyalitas
- Integritas
- Ramah
- Profesionalisme kerja
- Antusias
- Inisiatif
- Senang belajar hal baru
Ada juga beberapa attitude buruk. Diantaranya:
- Mudah tersinggung
- Kasar
- Meremehkan waktu
- Mudah mengeluh
- Tidak mau belajar
- Sombong
- Ingin menang sendiri
Perusahaan manapun, apapun bidangnya, pasti membutuhkan orang orang dengan attitude baik. Entah itu pekerjaan lapangan maupun kantoran, gaji tinggi maupun rendah, serta kerja otot maupun otak.
Attitude sangat menunjang terwujudnya berbagai target perusahaan.
Mana yang lebih penting antara skill dengan attitude?
Menjawabnya sebetulnya tak mudah.
Faktanya, keduanya adalah penunjang kesuksesan dalam karir. Bahkan tak bisa terpisahkan sama sekali.
Seorang dengan skill juara namun nihil attitude jelas hal buruk. Namun attitude oke tanpa skill menunjang juga sama buruk.
Sebagai ilustrasinya, kamu bisa lihat gambar berikut ini:
Untuk menunjang sukses paripurna, dibutuhkan 3 hal utama. Knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), dan attitude (sikap).
Jadi, semuanya sama pentingnya.
Tapi jika kami diminta untuk menjawabnya, berdasarkan berbagai sumber literasi yang kami dapat jawabannya adalah TERGANTUNG.
Maka dalam hal ini kami akan menjawab dari dua perspektif.
Attitude jadi lebih penting dalam konteks blab la bla dan skill jauh lebih penting jika konteksnya bla bla bla.
Attitude lebih penting jika..
Dari cara pandangan perusahaan, ketika hendak menerima karyawan, attitude akan jadi lebih berharga saat konteks yang meliputi perusahaan sebagai berikut:
Bidang pekerjaan menuntut skill yang tak terlalu khusus dan dalam
Membentuk attitude bagus itu susahnya bukan main. Mengingat attitude merupakan akumulasi nilai, pemikiran, dan hal hal pribadi, itu semua sudah terbentuk sejak seseorang masih kecil.
Bayangkan, apakah mudah mengubahnya dalam waktu beberapa minggu, bulan, bahkan hitungan tahun sekalipun? Pasti sulit.
Berbeda dengan skill. Kemampuan itu untuk level dasar mungkin bisa dipelajari dalam beberapa hari saja.
Coba ingat ingat,berapa lama kamu latihan motor atau mobil hingga bisa? Paling belasan atau puluhan jam juga langsung terampil
Meski untuk jadi ahli layaknya Valentino Rossi atau Lewis Hamilton jelas beda kasus lagi.
Makanya jika pekerjaan yang perusahaan butuhkan hanya membutuhkan skill skill ringan dan bisa dipelajari dalam waktu singkat, lebih baik jadikan attitude yang utama.
Misalnya:
- Penjaga toko
- Penjaga warung
- Buruh pabrik (operator mesin)
- Pegawai administrasi
- dan sebagainya
Dalam prosesnya, pegawai dengan attitude oke namun skill pas pasan ini bisa perusahaan latih dengan skema program magang atau masa percobaan dulu.
Nah, itu dalam konteks perusahaan dalam proses rekrutmen karyawan.
Adapun bagi karyawan, berlaku juga hal sama. Andaikata kamu tak punya kesempatan banyak belajar, menempuh pendidikan atau pelatihan, maka kamu bisa jadikan attitude sebagai modal.
Kamu bisa memulai karir dari pekerjaan pekerjaan dengan kebutuhan skill minim. Tentu dalam prosesnya, kamu tetap perlu berupaya agar skill meningkat agar semakin mendapatkan penghasilan layak.
Perusahaan membutuhkan pekerja dengan ikatan jangka panjang
Mencoba orang orang dengan skill bagus namun nihil attitude biasanya akan memakan energi perusahaan dalam memasukkan dan mengeluarkan karyawan.
Padahal, biaya rekrutmen calon karyawan itu tak sedikit.
Jika terlalu sering, bisa membuat energi sekaligus anggaran perusahaan jebol juga.
Nah, berdasarkan penelitian Mark Murphy, kebanyakan karyawan mudah keluar gara gara attitude yang dimilikinya buruk.
Beberapa attitude buruk tersebut antara lain kemampuan mengelola emosi, motivasi kurang, serta sensitif atau temperamental. Jika dikalkulasi, yang tak bertahan lama akibat persoalan attitude ada 89%.
Sebaliknya, pegawai tak bertahan lama akibat skill rendah hanya 11% saja.
Apa makna dari data data ini?
Artinya, perusahaan bagus mempertimbangkan attitude lebih utama ketika hendak mempekerjakan karyawan dalam waktu panjang. Dengan kata lain, enggan sibuk dengan proses rekrutmen berulang ulang.
Attitude paling penting adalah mau belajar, tidak mudah mengeluh, dan bekerja keras untuk berusaha.
Untuk memastikan sosok dengan attitude ini bisa menyatu dengan perusahaan, maka bisa dibuat dulu program uji coba. Selama proses itu perusahaan bisa lihat perkembangan skill nya.
Hal ini berlaku juga dalam perspektif kamu yang posisinya sebagai karyawan atau calon karyawan.
Ketika kamu lebih senang bekerja di satu tempat dalam waktu panjang, maka memiliki attitude sangatlah penting.
Dengan akumulasi sikap baik dalam dirimu, perusahaan akan lebih berpeluang untuk terus mempertahankanmu dalam waktu panjang.
Walhasil, kamu juga tak akan repot jadi kutu loncat yang keluar masuk perusahaan berbeda.
Skill lebih penting jika..
Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi. Ada waktunya perusahaan atau karyawan menomor dua kan attitude.
Pilihan ini menjadi pilihan tepat apabila konteksnya sebagai berikut:
Bidang pekerjaan menuntut skill spesifik dengan level keahlian tinggi
Ada sebuah teori terkenal dari Malcolm Gladwell.
Dalam buku masterpiece miliknya berjudul Outliers, ia mencetuskan konsep 10 ribu jam.
Konsep ini berbicara tentang cara menjadi master dalam keahlian tertentu.
Seseorang layak dikatakan seorang pakar atau master apabila telah mempraktekan keterampilannya selama 10 ribu jam.
Dengan kata lain, jika satu hari itu 24 jam dan manusia menghabiskan seluruh waktunya untuk praktek keterampilan tanpa tidur, ia butuh waktu sekitar 416 hari praktek.
Tapi itu jelas mustahil. Dalam 24 jam, mungkin manusia hanya bisa mengoptimalkan 7 hingga 8 jam saja untuk mengasah keterampilan.
Jadi paling tidak, perlu praktek selama 1.250 hari (sekitar 4 tahun) tekun dalam satu keterampilan.
Nah, ketika perusahaan butuh karyawan dengan level master, maka skill harus benar benar diutamakan.
Menerima karyawan dengan skill pemula akan sangat beresiko dan mengurangi produktivitas perusahaan. Meskipun attitude nya oke banget.
Pekerjaan yang skillfull ini contohnya:
- Eksekutif semisal CEO, CTO, dan sejenisnya.
- Manajer dalam berbagai bidang.
- Pekerjaan specialists seperti big data specialists, social media specialists, dan sebagainya.
- Bidang kerja seputar analisis seperti analis keuangan, data analyst, content strategist, software and app developer analyst, dan sebagainya.
Berbagai pekerjaan di atas dan semisalnya butuh belajar dan proses mengasah dalam waktu panjang.
Maka dari itu, mengedepankan skill bukan pilihan buruk.
Untuk membuat karyawan dengan pekerjaan semacam itu betah, perusahaan bisa beri fasilitas dan gaji yang oke. Buat karyawan merasa puas bekerja di sana.
Nah, itu dari perspektif perusahaan.
Bagaimana jika kamu karyawan? Sebagai karyawan yang punya cita cita bekerja dengan posisi semacam di atas, kamu harus habis habisan mengasah skill.
Tentu saja tak salah juga jika sambil terus mengubah attitude jadi lebih baik.
Pekerjaan yang dibutuhkan sifatnya kontrak jangka pendek
Selain berbagai pekerjaan dengan skema reguler dengan ikatan antara perusahaan dan karyawan dalam jangka panjang, ada juga pekerjaan bersifat kontrak.
Kebutuhan perusahaan terhadap karyawan dalam jenis kerja semacam ini tak kontinyu. Dalam satu tahun mungkin hanya butuh jasa untuk pekerjaan tersebut selama beberapa hari atau bulan saja.
Pekerjaan pekerjaan semacam ini juga bisa perusahaan dapatkan dari freelancer.
Nah, jika konteks kebutuhannya semacam ini, maka perusahaan bisa mendahulukan skill di atas attitude.
Untuk efektifitas kerja, orang dengan skill ahli akan jauh lebih bermanfaat.
Mungkin hanya ada satu attitude yang perlu perusahaan lihat, yakni profesionalitas kerjanya.
Selama sosok yang mau perusahaan hire itu paham etika kontrak kerja dan berkomitmen menyelesaikannya tepat janji, maka attitude seperti ramah, antusias, semangat belajar, tampaknya tak begitu penting.
Lagipula, perusahaan bisa sesuka hati mencari orang lain jika nantinya kontraktor tersebut hasil kerjanya kurang memuaskan.
Hal ini juga berlaku jika kamu seorang pekerja.
Jika posisimu adalah pekerja dengan tipe freelancer yang tak mau terikat jangka panjang dengan perusahaan, meningkatkan skill adalah nomor satu.
Ketidakpastian soal pekerjaan membuatmu harus meningkatkan daya saing dengan terus memperbaiki skill.
Namun bukan berarti kamu tak butuh attitude. Meski tak sebanyak pekerja reguler, tetap ada attitude yang perlu kamu bangun.
Setidaknya kamu punya komitmen untuk selalu menuntaskan proyek sesuai perjanjian.
Penutup
Tulisan kami di atas adalah cara pandang. Sangat mungkin ada di antara kamu punya pemikiran berbeda.
Faktanya, tak sedikit juga ahli berdebat soal isu ini.
Namun setelah membaca opini dan argumen dari kedua belah pihak, Tugas Karyawan menyimpulkan bahwa tulisan dalam artikel inilah jawaban pas.
Hanya saja, hal penting untuk digarisbawahi, bahwa memilih antara keduanya ibarat memilih salah satu dari dua makanan yang tak kita suka rasanya.
Dengan kata lain, selalu ada resiko jika skill buruk attitude oke maupun skill oke attitude buruk.
Jadi, ketimbang fokus memikirkan skill atau attitude dulu, lebih baik kita usahakan keduanya terwujud. Tempuh berbagai strategi untuk mewujudkannya.
Baca juga: